The Society of No
Society
of No adalah istilah ngasal bikinan gue sendiri yang artinya suatu masyarakat
yang hobi banget bilang tidak. Lebih spesifiknya adalah 'masyarakat larangan'.
Dimana hampir disemua segi kehidupannya isinya larangan mulu. Sebenernya
sah-sah aja sih dengan larangan. Tapi kalau larangan udah jadi poin utama di
kehidupan diatas anjuran, kebaikan, dan lainnya kan jadi aneh. Kesannya kita
hidup di bawah tempurung, karena apapun serba dilarang. From tolerate society
to judgemental society.
People will say, "NO!" (image by Google) |
Hampir
5 tahun belakangan ini, televisi dan media kita penuh dengan berbagai macam
berita pelanggaran yang terjadi di masyarakat. Dari mulai perkelahian pelajar
sampai korupsi pejabat yang nggak ada habisnya. Dari mulai harga barang naik
karena stoknya dikorupsi sampai banyak tambang yang bermasalah karena banyak
kecurangan selama pengurusan izin. Hmm.. Capek sih kalau kita daftar satu-satu
dan larangan yang begitu banyak itu pun sepertinya belum bisa menyelesaikan
masalah. Gue pikir solusi dari hal-hal seperti ini cuma dua. Pertama, makin
diperbanyaknya aturan dan larangan. Kedua, ambil jalan alternatif yang lebih
efektif. Gue termasuk orang yang percaya bahwa apapun yang lu perbuat, yang lu
lakukan, semuanya harus berasal dari diri sendiri termasuk misalnya berhenti
merokok, berhenti menyontek, berhenti membuang sampah sembarangan. Jadi ketika
ada orang lain yang menyuruh lu melakukan hal yang sama, hasilnya kadang
berhasil kadang enggak. Tergantung orangnya. Tapi self determination is
everything. Bukannya di kitab suci juga udah dikatakan tidak akan dirubah
keadaaan seseorang kalau bukan dia yang merubahnya sendiri? Nah makanya kenapa
memang yang lebih efektif adalah diri sendiri.
Selama
ini banyak dari kita yang mengandalkan larangan. Kita ini mengaku kalau masyarakat
beragama tapi implikasi ke kehidupan nyatanya nggak ada. Banyak yang cuma jadi
syarat pengisi kartu identitas saja. Gue lebih suka daripada itu penjara kita
penuhin sama pelanggar hukum mendingan pesantren atau tempat-tempat pengajaran
ilmu agama yang kita penuhin. Ketika seseorang salah ya masyarakat tidak perlu
sebegitunya judgemental. Marah wajar awalnya. Tapi pada akhirnya bukan kah
lebih baik kalau kita merangkul lagi orang tersebut? Gue mikirnya agama adalah
batasan paling utama. The prime boundary of someone. Ketika agamanya baik, maka
dia punya batasan yang kuat soal apa yang boleh dan nggak boleh dikerjakan.
Namun sebaliknya, ketika agamanya belum baik, semuanya jadi abu-abu dan punya
kemungkinan yang sama. Nggak percaya? Katakan lu seseorang yang punya
pendidikan yang bagus baik agama dan ilmu lainnya, ketika lu menemukan uang
kertas di pinggir jalan lu pasti langsung mikir punya siapa. Kalau lu mau
kadang lu ambil dan disumbangkan ke kotak amal, atau kadang lu lewatin begitu
aja karena lu tau itu bukan hak lu. Beda ketika udang tadi ditemukan sama anak
jalanan yang kehidupannya keras. Uang tersebut langsung diambil pastinya.
Mungkin saja dia nggak begitu peduli itu uang siapa yang jelas dia hari itu
punya uang. See?
Maka
dari itu, sebenernya gue liat akar masalah dari semua kenakalan remaja,
kelakuan buruk para pejabat, dan bentuk anomali di masyarakat lainnya Cuma
satu, yaitu krisis identitas. Kita mengatakan bahwa kita adalah orang yang
beragama tapi bahkan kita sendiri belum mengenal agama kita lebih jauh. Udah
kerasa cocok nggak opini gue? Coba deh bayangin ketika semua orang di Indonesia
agamanya bagus. Sebutlah yang islam rajin ke pengajian, yang kristen rajin ke
gereja, yang hindu rajin ke pura, yang buddha rajin ke wihara, dan juga yang lainnya. Ketika seseorang
udah paham akan agamanya otomatis dia tau mana hal yang merupakan anjuran, mana
yang larangan. Gue yakin efek pemahaman ini lebih efektif ketimbang hukum
pidana sekalipun karena urusannya soal kehidupan setelah mati ntar. Jadi ketika
remaja sekarang khususnya yang perempuan pakaiannya terbuka, yang laki-laki
hobi pakai gelang, anting, kemudian yang punya jabatan suka korupsi, suka bolos
kerja, yang kuliah suka titip absen, ujian pada nyontek, dan masih banyak lagi
yang bisa lu sebutin itu nggak perlu lah dikasih hukuman yang berlebihan. Gue
sih ngeliatnya cukup seperlunya dan sisanya ajak mereka untuk lebih memperdalam
agamanya. Biar efek jeranya muncul ketika mereka udah sadar bahwa apa yang udah
dilakukan itu salah. Selebihnya, tinggal gimana kita sebagai makhluk sosial yang
menjaga lingkungan masyarakat kita. Gimana? Setuju nggak?
Al, coba ada pilihan Reaksi 'bingung' udah aku conteng tuh,
ReplyDeleteTiba-tiba kepalaku penuh dengan pertanyaan bodoh. -.-